Sabtu, 27 November 2010

Antara Kesaktian dan Kesakitan Pancasila

Perdebatan tentang Pancasila,seakan tidak pernah berhenti,hal ini kembali muncul setelah beberapa politisi dari partai yang dikenal sekuler menyerukan kembali penyeragaman asas partai.Kembali ke asas tunggal Pancasila. Terang saja pro kontrapun mengalir. Entah kenapa sejak awal kemuncul-annya Pancasila yang hanya terdiri dari lima sila itu, terus mengun-dang kontroversi.

Sejak awal Pancasila sendiri banyak versinya. Ada versi Bung Karno yang ia lontarkan di depan BPUPKI 1 Juni 1945. Saat itu menyebutkan lima sila yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalis-me atau kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejehteraan sosial, dan ketuhanan. Ada pula versi Piagam Jakar-ta yang mencantumkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan kewajib-an syariat Islam bagi pemeluknya. Versi ini menjadi keputusan resmi BPUPKI yang bersidang pada 22 Juni 1945. Ada versi PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang mirip dengan Pancasila yang ada seka-rang. Bahkan Soekarno saat mengeluar-kan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyata-kan Pancasila dan UUD 1945 yang dijiwai Pancasila Piagam Jakarta. Hingga seka-rang muncul perdebatan Pancasila mana yang sah

Fakta-fakta di atas menurut Habib Rizieq telah cukup menjadi bukti bahwa Pancasila sendiri tidaklah sakral, ia ha-nya merupakan produk akal manusia yang bisa berubah. “ Ini merupakan bukti argumentatif yang telah meruntuhkan metodologi Pancasila yang berupaya memitoskan Pancasila sebagai sakral dan tidak bisa diubah-ubah”,ujarnya.
Lepas dari pro kontra tentang Pancasila, realita sejarah juga menunjukkan bahwa tafsir Pancasila lebih banyak ditentukan siapa yang menjadi penguasa saat itu. Di bawah kepemimpinan Bung Karno era orde lama, Pancasila ditafsir cenderung ke kiri (sosialisme) yang banyak mendominasi pemikiran Bung Karno.

Sementara di era Orde Baru, Panca-sila ditafsirkan lebih bercorak Kapitalis. Wajar saja mengingat Soeharto pada wak-tu itu berada dibawah dominasi Amerika, pembantu-pembantunya juga adalah pemikir-pemikir yang dikenal sangat Kapitalis. Sementara di era SBY sekarang, Pancasilanya tetap, tapi kebijakan-kebijakan yang muncul semakin bercorak neo-libaral. Realita sejarah juga menunjukkan Pancasila telah dijadikan alat pukul politik (political hammer) oleh rezim yang berkuasa. Soekarno menyerang musuh-musuh politiknya sebagai anti Pancasila. Tidak jauh beda dengan Soeharto, siapapun yang mengkritisi kebijakannya akan dicap anti Pancasila, berarti subversif, dan siap dipenjara bahkan dihukum mati.
Ketika Soeharto memaksakan Pancasila versinya dengan mengusulkan asas tunggal pada pidato di depan DPR tanggal 16 Agustus 1982, upaya pemukulan lawan-lawan politik pun semakin memuncak. Terjadilah tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dalam peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dan peristiwa Lampung tahun 1989.

Menurut Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto, tafsir penguasa atas Pancasila ini bisa terjadi karena memang Pancasila baru sekadar kumpulan nilai-nilai umum yang belum memiliki turunan operasional. Karena itu menurutnya, sulit Pancasila dikatakan sebagai sebuah ideologi sempurna. Menurutnya, sebuah pemikiran bisa disebut ideologi kalau selain memuat nilai-nilai mendasar juga memiliki operasional yang konsisten dan berhubungan. “Kalau tidak, Pancasila akan ditafsirkan oleh sembarang orang dengan sembarang kehendaknya”, ujar-nya. Hal yang sama dikatakan pengamat politik LIPI, Mochtar Pabottingi, juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state yang mendahului berdirinya Republik Indonesia
Fakta sejarah di atas setidaknya bisa kita jadikan bahan renungan,seberapa saktikah pancasila sehingga kita harus terus menjaganya,atau justru seberapa sakitkah pancasila sehingga kita perlu mencari sesuatu yang lebih ‘sakti” dari pancasila
Seorang soekarno yang oleh beberapa orang disebut sebagai proklamator negeri ini,sempat mengeluarkan pernyataan tentang pancasila yang ia lontarkan dalam acara perkumpulan kader nasakom 1 juni 1965,pernyataan dari pencetus pancasila sendiri yang sudah seharusnya kita renungkan” “Saudara-saudara, belakangan aku juga berkata bahwa Pancasila ini bisa juga diperas lagi secara lain, bukan secara Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, tetapi bisa pula diperas secara lain, dan perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom adalah pula perasan Pancasila, dus Nasakom adalah sebenarnya juga gotong royong, sebab gotong royong adalah de totale perasan dari Pancasila, maka perasan daripada Nasakom adalah Pancasila pula,”pernyataan yang sedikit membingungkan tapi setidaknya dapat menjadi bukti bahwa pancasila adalah ideology yang bisa diseret ke mana saja, ditafsirkan apa saja, dan ujungnya, melahirkan kebingungan yang sangat “berbahaya”.

(dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: