Kamis, 12 November 2009

i like being radikal


deradikalisasi

Tiga tahun sebelum runtuhnya Soviet, Daniel Pipes sudah meramalkan bahwa negeri komunis itu bakal runtuh. Ia kembali membuka map daftar musuh Amrik, dan terbitlah tulisan ” Fundametalist Muslim between Amerika and Rusia” di majalah foreign Affairs edisi musim panas 1986. Menurutnya, ganjalan masa depan Amrik terberat adah ‘Islamic law‘ (syariat Islam). Dalam kesempatan lain, ia menyatakan: “Kaum Fundamentalisme radikal merupakan bahaya yang sesungguhnya. Mereka adalah musuh yang lebih berbahaya bagi Amerika Serikat ketimbang kaum marxis, keberhasilan mereka mencapai kekuasaan nyaris selalu membahayakan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.” Z.A Maulani menuturkan hal ini dengan sangat baik dalam ‘Mengapa Barat Menfitnah Islam’.

Mengapa berbahaya? Karena Islam memiliki ideologi jihad. Islam juga mengajarkan berislam secara sempurna dalam institusi negara. Ideologi tentu menjadi ancaman jika menemukan ruang dan alatnya. Sekadar ideologi, tentu hanya sebentuk gambar yang tak menyeramkan. Anak kecil pun tidak akan pernah takut dengan gambar harimau. Dan di mata Amrik, madrasah Afghan sangatlah mengkhawatirkan. Sementara doktrin Jihad Islam tidak bisa mentolerir setiap ragam kedhaliman, terlebih kedhaliman yang menimpa umat Islam. Padahal agenda politik Amrik jelas: mendukung pendudukan Palestina oleh Israel apapun resikonya. Disini dua kepentingan tidak akan saling bertemu. Dan dua kekuatan itu berpotensi untuk meletup.

Hujan tanpa mendung tentu mengagetkan. Dalam setiap aktivitas, terlebih pada level negara, logika pembenaran harus selalu ada. Jika tak ada sekalipun, logika pembenaran haruslah tetap diciptakan. Itulah politik. Dan itulah yang tersirat dari pernyataan Condoleezza Rice kepada seorang wartawan pasca 11 September: “Amerika Serikat selama ini sangat sulit untuk merumuskan kepentingan nasionalnya dengan runtuhnya Uni Soviet… Saya rasa, peristiwa 11 September merupakan salah satu gempa-bumi yang membuat jelas dan mempertajam. Peristiwa-peristiwa kini memperlihatkan relief yang lebih tajam…” Ya.. Amrik seolah mendapat durian runtuh; sebuah momentum yang lama ditunggu-tunggu untuk ‘rumusan kepentingannya’. Dan kepentingan itu, sebagaimana tertuang jelas dalam pecahan uang satu dolar, adalah Novus Ordo Seclorum (Tata Dunia Baru). Sebuah missi yang sangat ideologis dan menghalalkan segala cara.

Perang semesta digelar. Bukan hanya ranah fisik tapi multidimensi. Perang ada di ranah militer, politik, ekonomi, pemikiran dan Budaya. Bukan Amrik sendirian tapi banyak juga temannya. Negeri-negeri muslim pun ikut menjadi makmum. Maklum, Bush saat itu mengancam; “Anda bersama kami atau Anda musuh kami.” Muncullah istilah “war on terror” yang tak lain adalah bumi hangus bagi gerakan dan ideologi jihad. Dan itu antara lain yang mengemuka dari memoar Donald Rumsfeld tertanggal 16 Oktober 2003 yang ditujukan kepada punggawa di Pentagon dengan umpan pertanyaan: “Apakah Amerika perlu mengembangkan suatu rencana yang luas dan menyeluruh untuk menghentikan munculnya generasi penerus teroris?” Kepada Presiden ia juga mengusulkan: “Barangkali kita perlu membentuk suatu yayasan swasta untuk menghentikan madrasah-madrasah yang radikal agar menjadi lebih moderat”.

Demikianlah, operasi Amrik ternyata bukan hanya dalam ranah “aksi fisik” tapi juga ideologi. Ia bernafsu membasmi sampai akar-akarnya. “Deradikalisasi” kemudian menjadi istilah yang popular. Bukan hanya era Bush tapi juga Obama. Bukankah Obama telah menganggarkan $ 2 milyar untuk program memerangi apa yang ia istilahkan ‘pengaruh sekolah Islam yang mengajarkan kebencian’?

Dan Indonesia selalu tidak pernah ketinggalan. Bukan semata karena kunjungan kenegaraan perdana Hillary adalah Indonesia, tapi memang selama ini, negeri berpenduduk mayoritas muslim ini lebih memilih carrot (wortel) Amrik ketimbang stick. Atas nama war on terror, kini di Indonesia telah memasuki fase perang ideologi. Jika dulu Washington pernah secara terbuka meminta Al-Azhar Kairo untuk menghapus tiga mata kuliah; Al-Qur’an, Fiqh dan Adab, dan akhirnya menuai protes keras ulama dunia, maka di Indonesia perang terhadap simbol dan fundamen Islam sudah dimulai. Seruan Pangdam Diponegoro untuk melaporkan pria bersorban, berjubah, dan berjanggut hanyalah gejala kecil dari pelecehan identitas Islam yang sempat mengemuka.

Ledakan Mega Kuningan dengan demikian hanyalah serupa durian runtuh. Sebuah momentum yang lama ditunggu untuk sebuah proyek deislamisasi dari kelompok Islamophobia. Bukan sebelumnya telah muncul kampanye “waspadai ideologi tran-nasional!?” Beberapa minggu sebelum ledakan Mega Kuningan juga ada peluncuran buku “Ilusi Negara Islam”. Buku yang sarat dengan fitnah dan cacian terhadap dakwah Islam itu diduiti oleh Asia Foundation. Sasarannya bukan lagi memerangi kelompok yang selama ini diidentifikasi sebagai “teroris” tapi sudah melebar ke lapis berikutnya; pergerakan Islam yang mencita-citakan tegaknya syariat. HTI dan PKS menjadi bintang dalam buku itu. Dan selalu politik belah bambu menjadi jurus utama. Tentu hal ini telah selaras dengan wangsit Rand Corporation yang memonya; “Bikin Islam warna-warni”. Politik adu domba dengan demikian menjadi ancaman.

Kini saatnya elemen Islam untuk bersatu. Tanggalkan perbedaan-perbedaan yang kurang prinsip karena hanya akan menguras energi. Siapa lawan begitu jelas tapi siapa kawan semakin tidak jelas. Dan ini dibiangi oleh syubhat (persepsi, opini) juga syahwat terutama suapan fulus. Padahal dimata Amrik, Islam pro syariat adalah satu. Ia tidak akan membedakan baju, yang ada hanyalah ’skala prioritas’. Jika beberapa waktu lalu Jamaah Tabligh (JT) yang apolitik mulai diganggu, maka hal ini sudah lama terjadi di negeri Arab. Syeikh As-Suri menceritakan; Saat anggota JT ditangkap dan ia mempertanyakan ‘apa salah kami yang hanya mengajak orang ke mesjid,’ sang interogator justru menjawab: “Itulah problemnya, ibarat bus, Anda mengangkut setiap penumpang ke mesjid. Anda lupa bahwa saat di masjid, mereka dibawa kelompok jihadis untuk berjihad. Dan kami akan hancurkan sampai ‘armadanya’.” Ya.. perang terhadap prinsip, identitas dan syi’ar Islam baru saja dimulai.

( muslimdaily.net )

Tidak ada komentar: